Sidang Lanjutan MK Pilkada Tahun 2024 : Menyimak Argumen dan Bukti dalam PHPU Bupati Minahasa Utara

Sidang Lanjutan MK Pilkada Tahun 2024 : Menyimak Argumen dan Bukti dalam PHPU Bupati Minahasa Utara
Sidang Lanjutan PHPU Bupati Minahasa Utara Mengungkap Kontroversi Suara Pemilih

Jakarta - Bpanbanten.com || Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk Perkara Nomor 107/PHPU.BUP-XXIII/2025 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Minahasa Utara Tahun 2024. Sidang yang berlangsung pada Kamis ini berfokus pada mendengarkan jawaban dari Termohon dan keterangan dari Pihak Terkait serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Panel Hakim 1 yang memimpin sidang terdiri dari Ketua MK Suhartoyo, serta dua anggota Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, yang bertempat di Ruang Sidang Lantai 4, Gedung II MK.

Permohonan dalam perkara ini diajukan oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 01, Melky Jakhin Pangemanan dan Christian Kamagi, sementara Termohon adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Minahasa Utara. Pihak Terkait dalam perkara ini adalah Paslon Nomor Urut 02, Joune James Esau Ganda dan Kevin William Lotulong.

Kuasa hukum Pihak Terkait, Samuel David, menjelaskan bahwa memang ada mutasi pejabat di lingkungan Pemda Kabupaten Minahasa Utara yang telah disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri. Ia mengungkapkan, “Benar ada mutasi sejumlah 56 pegawai enam bulan sebelum penetapan pasangan calon pada 22 Maret 2024, namun keputusan tersebut telah dibatalkan berdasarkan keputusan Bupati pada 17 April 2024. Oleh karena itu, Pihak Terkait tidak memenuhi kualifikasi pelanggaran menurut Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016.”

Sidang sebelumnya, pada 13 Januari 2025, Pemohon mengajukan pembatalan Keputusan KPU Kabupaten Minahasa Utara Nomor 1287 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan. Pemohon menyatakan bahwa Paslon Nomor Urut 01 memperoleh 51.070 suara, sedangkan Paslon Nomor Urut 02 memperoleh 70.620 suara. Pemohon berargumen bahwa Pihak Terkait seharusnya tidak memperoleh suara sama sekali akibat pelanggaran yang bersifat terstruktur dan sistematis.

Pelanggaran tersebut termasuk mutasi pejabat yang dilakukan tanpa persetujuan Mendagri. Menurut Pemohon, tindakan tersebut seharusnya dikenakan sanksi pembatalan oleh KPU, yang hingga saat ini belum dilakukan.

Sidang ini menjadi perhatian masyarakat, mengingat potensi dampaknya terhadap integritas pemilihan umum di Indonesia. Keputusan MK diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Tim Redaksi

0 Komentar