Gedung Mahkamah Konstitusi |
Jakarta – Bpanbanten.com || Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada Jumat, 13 Desember 2024. Sidang ini merupakan agenda kedelapan untuk Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Rega Felix, seorang advokat dan dosen. Dalam sidang tersebut, MK mendengarkan keterangan dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, termasuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
Rega Felix mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba. Dalam sidang perdana yang berlangsung pada 24 Juli 2024, Rega menyatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter kebijakan afirmatif yang diatur dalam UUD 1945.
Menurutnya, penawaran tersebut dapat berpotensi melanggar Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jika didasarkan pada pertimbangan suku, agama, ras, dan antargolongan. Rega menekankan bahwa makna "prioritas" dalam norma pasal yang diuji tidak jelas, yang dapat menciptakan norma yang merujuk kembali kepada presiden.
Dalam petitum, Rega meminta MK untuk menyatakan bahwa frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, jika tidak dimaknai tanpa mempertimbangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ia juga meminta agar klausul dalam Pasal 35 Ayat (1) yang menyatakan bahwa usaha pertambangan harus berdasarkan perizinan dari pemerintah pusat juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak diartikan dengan cara yang sama.
Sidang lanjutan kali ini dihadiri oleh perwakilan dari ormas-ormas keagamaan yang memberikan keterangan mengenai kebijakan tersebut.
Ulil Abshar Abdalla, mewakili PBNU, menjelaskan bahwa NU memiliki unit-unit profesional di berbagai bidang dan siap untuk mengeksekusi kebijakan pemerintah. Ia menekankan perlunya pemerataan dalam pengelolaan sumber daya alam, dengan memberikan konsesi pertambangan kepada ormas keagamaan sebagai langkah menuju keadilan.
“Selama ini, konsesi pertambangan umumnya dinikmati oleh korporasi. Kini saatnya ormas keagamaan yang berkontribusi dalam pendidikan diberikan kesempatan mengelola sumber daya ini,” ungkap Ulil.
Johny Nelson Simanjuntak dari PGI menyampaikan bahwa banyak warga gereja yang tinggal di daerah tambang mengalami dampak negatif dari aktivitas pertambangan. Ia menyoroti perlunya perhatian negara untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“PGI prihatin dengan krisis ekologis yang terjadi akibat kebijakan yang kurang pengawasan terhadap perusahaan tambang,” kata Johny.
Marthen LP. Jenarut mewakili KWI menegaskan bahwa mereka menolak tawaran pemberian WIUPK, karena fokus utama mereka adalah pada kegiatan pelayanan dan kemanusiaan. Meskipun KWI tidak menolak investasi di sektor pertambangan, mereka lebih memilih untuk tidak terlibat dalam eksplorasi pertambangan.
“Kami memilih untuk melakukan kegiatan yang mendukung pelayanan dan karya kemanusiaan,” ungkap Marthen.
Ida Djaka Mulyana dari PHDI menyampaikan apresiasi terhadap kebijakan pemerintah yang melibatkan ormas keagamaan dalam pengelolaan tambang. Ia menekankan pentingnya kemandirian finansial lembaga keagamaan untuk mencegah intervensi pihak-pihak tertentu.
“Namun, kami belum cukup kompeten untuk mengelola WIUPK dan memutuskan untuk memberikan kesempatan tersebut kepada ormas lain,” jelas Djaka.
Sidang ini menjadi panggung bagi berbagai ormas keagamaan untuk menyampaikan pandangan dan kepedulian mereka terhadap kebijakan pertambangan di Indonesia. Masing-masing ormas memberikan perspektif yang berbeda, mencerminkan kompleksitas isu yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam. MK diharapkan dapat mempertimbangkan semua pandangan ini sebelum mengambil keputusan yang akan mempengaruhi masa depan pengelolaan sumber daya alam dan keadilan sosial di Indonesia.
Asep
0 Komentar